oleh : Priyo Suwarno
(foto net) |
TUGAS aparat kepolisian bukan
cuma memberikan jaminan keamanan urusan politik saja, seperti di Pemilihan
Gubernur DKI Jakarta. Pemilihan gubernur bersifat kedaerahan, ini ternyata
punya gaung nasional yang luar biasa. Betatapun dengan potensi besar terjadi
kerusuhan, Polri ternyata sudah membuktikan diri mampu mengamankan Jakarta,
hingga Pilgub selesai, meski masih menyisakan persoalan hukum.
Itu hanya sebagian kecil
tugas menjaga keamanan dan penegakkan hukum di Indonesia. Karena setiap hari,
polisi akan berurusan dengan persoalan hukum yang selalu saja terjadi di
tengah-tengah masyarakat.
Orang mengenal pekat di
masyarakat itu bertumpu pada lima persoalan besar, menurut sitilah Jawa: Molimo
(maling+ tindak kriminal/ pencurian; madon: berzina; minum=mabuk-mabukan; main=
perjudian; madat= shabu dan narkoba). Lima penyakit masyarakat ini semakin
berkembangan dengan model dan aneka macam penyimpangan yang sulit dinalar dibungkus life style yang menurut nilai
sosial dan agama dianggap menyimpang.
(foto net) |
Dulu, orang tua kita selalu
menjaga ketat anak putrinya. Melarang anaknya keluar bersama lawan jenisnya. Harus dikawal atau ditemani
kakak atau rekan lainnya. Bagaimana orang tua dulu menjaga ‘kesucian’
anak-anaknya secera ketat, sehingga hubungan atau komunikasi langsung dua lawan
jenis begitu sulit dengan batasan-batasan etika dan sopan santu yang ketat.
Bagi orang tua di zaman yang
disebut ‘modern’ sekarang was-was orang tua bertambah berat, karena kekhawairan
justru anak putrinya terlalu karab dengan sahabat perempunnya. Demikian pula
remaja pria lengket dengan teman sejawabnya yang berjenis kelamin Adam.
Persoalna sekarang ini, hubungan pribadi lelaki dan perempuan menjadi
multidimensi. Bukan hanya pria-wanita, tetapi juga bisa pria-pria,
wanita-wanita, bahkan lebih gila lagi campuran.
Sebelumnya polisi
penggerebekan di Surabaya, lalu melebar di Jakarta, ketika petugas keamanan
menangkap praktik praktik gay di Jakarta. Hal itu baru bisa dibuktikan, setelah
melakukan pengintaian selama dua pekan terhadap kegiatan pesta seks kaum
gay yang dilakukan di salah satu ruko di
Kelapa Gading, Jakarta Utara.
(foto net) |
Polisi bertindak selah
mendapatkan laporan ada aktivitas mencurigakan yang berbau prostitusi yang
terjadi di ruko tersebut. Selama dua pekan, secara intens petugas memantau
kegiatan itu. Setelah diyakini bahwa ruko tersebut sebagai tempat pesta seks,
pada Minggu (21/5) malam polisi menggerebek ruko itu.
Saat penggerebekan, ada
petugas kemananan ruko yang sedang berjaga. Namun, petugas keamanan tak bisa
melawan karena sejumlah petugas kepolisian telah mengepung kawasan itu. Polisi
lalu menyisir lantai dasar yang dijadikan sebagai tempat fitness. Di lantai
ini, tidak ditemukan adanya aktivitas yang mencurigakan. Penggerebekan kemudian
berlanjut ke lantai dua ruko.
Costum superhero yang
digunakan penari striptis saat pesta kaum gay di Kelapa Gading, Jakarta Utara,
Senin (22/5). Di sana, ditemukan para pengunjung yang sedang menyaksikan
pertunjukan striptis. Sebagian penonton tak mengenakan busana. Kondisi di
lantai ini layaknya sebuah pesta di sebuah diskotek.
Polisi lantas menyisir lantai
tiga yang dijadikan sebagai tempat spa. Di lantai ini polisi juga menemukan sejumlah
pengunjung yang tak mengenakan busana berkumpul dengan sesama jenis. Polisi
tidak menemukan adanya pengunjung yang sedang melakukan hubungan badan. Ada
sebanyak 141 orang yang diamankan.
Dalam kasus itu polisi
menetapkan sepuluh tersangka, yaitu empat orang bernisial CD, N, D, dan RS yang
merupakan pengelolan tempat tersebut, SA, BY, R, dan TT penari striptis, dan A,
S tamu yang tertangkap basah sedang menari bersama para penari striptis yang
juga berjenis kelamin pria.
Penggerebkan ini merupakan
upaya polisi memberantas penyakit masyarakat (Pekat), sekaligus mencegah
terjadi segala macam bentu penyimpangan sosial di masyarakat. Bukan hanya
pujian, tetapi banyak pula kritik yang ditujukan kepada aparat kepolisian.
Kritik datang dari Koalisi
Advokasi untuk Tindak Kekerasan terhadap Kelompok Minoritas, Identitas, dan
Seksual mendampingi warga yang diamankan polisi dalam penggerebekan pesta gay
'The Wild One' di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Polisi dianggap melakukan
tindakan sewenang-wenang dalam penggerebekan tersebut.
Koalisi ini terdiri dari LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers, ICJR, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Arus Pelangi. Isnur menjelaskan proses setelah orang-orang tersebut diamankan.
Disebutkan ‘korban’ digerebek, ditangkap, dan digiring menuju Polres Jakarta Utara dengan ditelanjangi dan dimasukkan ke dalam bus angkutan kota. Sesampai di kepolisian, sejumlah korban digiring untuk diperiksa dan dilakukan penyelidikan, memberikan catatan pelanggaran atas penangkapan itu. Tindakan tersebut adalah tindakan sewenang-wenang dan menurunkan derajat kemanusiaan para korban.
Koalisi ini terdiri dari LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers, ICJR, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Arus Pelangi. Isnur menjelaskan proses setelah orang-orang tersebut diamankan.
Disebutkan ‘korban’ digerebek, ditangkap, dan digiring menuju Polres Jakarta Utara dengan ditelanjangi dan dimasukkan ke dalam bus angkutan kota. Sesampai di kepolisian, sejumlah korban digiring untuk diperiksa dan dilakukan penyelidikan, memberikan catatan pelanggaran atas penangkapan itu. Tindakan tersebut adalah tindakan sewenang-wenang dan menurunkan derajat kemanusiaan para korban.
Koalisi menganggap penangkapan ini sebagai preseden buruk bagi kelompok minoritas gender dan seksual lainnya. Isnur menyebut penangkapan di ranah paling privat ini bisa menjadi acuan untuk tindakan kekerasan lain yang bersifat publik. Untuk dia mengimbau agar tidak menyebarkan data peribadi korban karena ini adalah bentuk ancaman keamanan bagi korban dan pelanggaran hak privasi setiap warga Negara; tidak menyebarluaskan foto dan/atau informasi lain yang dapat menurunkan derajat kemanusiaan korban; memberikan hak praduga tak bersalah bagi korban dan bila korban dinyatakan tidak bersalah untuk segera dibebaskan dan dipulihkan nama baiknya.
Inilah Negara hukum, dimana
petugas keamanan selalu saja dibatasi semua gerak dan tindakannya meski itu
dalam kerangka penegakkan hukum dan ketertiban sosial. Di negeri demokratis dan
berlandasarkan hukum ini, hak individu semakin menguat. Kadang mengalahkan
kepentingan publik, polisi berada di dua kekuatan kepentingan yang sama-sama
punya legitimasi.
Presiden
Joko Widodo kepada BBC dalam wawancara eksklusif di Solo, Oktober 2016,
menegaskan bahwa Indonesia menghormati hak asasi manusia namun ada ‘norma
sosial’ yang juga masih sangat kuat.
Presiden
menyebutkan bahwa di Indonesia tidak ada diskriminasi untuk minoritas, baik
yang terkait etnis ataupun agama. Semuanya diberikan perlindungan saja. Tapi, kata
Presiden, bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di
dunia yang mempunyai norma-norma agama, itulah yang harus orang ingat, dan
orang harus tahu mengenai itu, bahwa kita mempunyai norma-norma.
Apakah
homoseksualitas akan dipidanakan di Indonesia seperti yang sekarang sedang
diusahakan oleh beberapa kalangan di Mahkamah Konstitusi, ia menegaskan tidak
perlu melakukan perubahan terhadap hukum yang ada terkait itu. Dan jika ada
kalangan minoritas yang terancam, katanya, polisi harus melindungi. Polisi
harus bertindak. Tidak boleh ada diskriminasi terhadap siapa pun.
Namun ia
menambahkan bahwa, "masyarakat Indonesia mempunyai budaya, mempunyai
norma- norma, dan di Indonesia, keyakinan (umum) memang tidak memperbolehkan
itu, agama tidak memperbolehkan itu."
Kondisi ini
merupakan factor-faktor pemicu benturan nilai di tengah-tengah masyarakat, satu
sisi menunjukkan bahwa LGBT merupakan pilihan bebas orientasi seksual individu,
tetapi disisi lain normal agama dan sosial melarang dan menolak.
Risikonya
jelas, terjadi benturan nilai di tengah masyarakat. Indonesia harus melakukan
mengupayakan solusi sebaik-baiknya tas persoalan ini, agar kelak menjadi baik
adanya. Misalnya diselesaikan melalui sebuah undang-undang tertentu, untuk
mencegah benturan nilai tersebut. Aturan lainnya untuk mencegah agar jangan
sampai setiap kali muncul penanganan hukum, polisi selalu ditimpa kesalahan
dalam bertindak.
Maklum sudah
muncul beberapa kali kasus penggrebekan terhadap komunitas atau praktik LGBT di
Indonesia. Disitu polisi bertindak mencegah dan mengamankan agar tidak terjadi bentrok
yang kemudian menimbulkan gangguan sosial di masyarakat lebih dalam.
Inilah tugas
dan beban berat yang harus dipikul Polri, menjaga dan melindungi masyarakat
ketika terjadi benturan nilia di tengah-tengah masyarakat. Dari gambaran di
atas, maka disitulah posisi aparat
keamanan menjadi serba salah serba sulit bertindak, tetapi harus dilaksanakan
dengan mengedepan kepentingan individu maupun masyarakat umum. Sulit bukan! (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar